বুধবার, ১৭ মার্চ, ২০১০

MAKNA DI BALIK PENGALAMAN (1-7 Feb)

Tak jarang orang merasa jenuh dengan kegiatan yang ada. Terkadang pula orang merasa bahwa setiap kegiatan yang diulang terus-menerus adalah aktivitas klasik yang monoton. Orang cenderung mencari suatu kegiatan lain yang mungkin lebih santai dan penuh dengan suasana rekreatif untuk menghilanhkan rasa jenuh. Persis seperti itulah yang selalu dilakaukan orang ketika memasuki masa liburan. Mengenai situsi jenuh ini, saya pernaha bertanya kepada Pater Kirch demikian: “Tuan, apa tidak bosan setip hari mesti bangun jam 04.30, dan sore harinya pukul 15.30 harus cek air di bak?” Pater tidak menjawab dengan mengungkapkan alasan tetapi dengan sebuah pernyataan yang sarat makna, “ Kalau setiap kegiatan dilihat sebagai peristiwa tentu setiap orang akan cepat merasa bosan, tetapi jika dilihat sebagai latihan yang terus menerus, maka kita sebaliknya tidak akan pernah merasa jenuh Karena di dalamnya yang kita peroleh adalah bobot intensitasnya”. Saya akhirnya sadar bahwa hal yang paling penting dalam menjalani suatu rutinitas hidup adalah bobot intensitas yang kita terima. Sama halnya dengan seorang yang sedang latihan bermain musik, dari hari ke hari bobot intensitas semakin bertambah.
Awalnya saya tentu mempunyai asumsi yang sama tentang rutinitas yang menjenuhkan. Tetapi kata-kata Pater di atas setidaknya menguatkan saya untuk tidak pernah jenuh dengan setiap kegiatan yang ada. Karena itulah, saya menerima tawaran dari teman Charles untuk mengisi liburan ini dengan mengisi liburan kali ini di Yayasan Dian Desa. Cukup berat memang, karena saya mesti membatalkan semua program yang telah saya buat sebelumnya. Tetapi kesempatan seperti sangat berharga dan berguna untuk mengembangkan kemandirian dan kreativitas kita.

Gambaran Kegiatan
Kegiatan kami berlangsung selama lima hari. Ada tiga kegiatan umumnya yang saya rangkum, yakni: kegiatan lapangan di Reroroja (kecamatan Magepanda), kegiatan di Pulau Pamana, dan kegiatan pendalaman berupa sepatah kata peneguhan dari kakak-kaka di Dian Desa. Pertama, Kegiatan Cinta lingkungan. Kegiatan in belangsung selama dua hari yakni pada hari selasa (2/2) dan Sabtu (6/2). Pagi-pagi setelah makan kami mesti cepat-cepat turun ke Maumere karena tepat pukul 08.00 kami mesti harus berangkat ke Magepanda. Pada hari selasa dari pagi sampai sore kami bekerja di kebun. Pekerjaan kami adalah menggali lubang untuk menanam pohon jarak (dammar) di salah satu lereng bukit.
Di bawah teriknya matahari, kami mesti menggali ratusan lubang dengan jumlah anggotanya hanya lima orang. Tetapi saya sungguh menikmati pekerjaan ini. Makan siang di kebun dengan makanan yang dibeli dari warung. Setelah makan siang ada pekerjaan lain lagi. Kali ini kami membuat sebuah tempat untuk istirahat, persis di bawah dua pohon rimbun. Banyak karyawan Dian Desa yang dilibatkan karena pekerjaan cukup berat, yakni membuat sebuah fondasi dengan campuran semen setinggi 2 meter. Saya hanya bisa bayangkan betapa indahnya tempat ini nanti ketika semua pohon jarak sudah tumbuh besar. Orang akan ramai berkunjung ke tempat ini. Kami baru pulang sore harinya dan langsung diantar ke unit.
Pada hari sabtu, yang kami kerjakan bukan lagi menggali atau membuat tempat istirahat yang baru, tetapi kali ini kami menanam pohon jarak sebanyak 500 pohon. Kami semua berjumlah tujuh orang dengan pembagian; satu orang menyiram pupuk, satu orang meletakan tempurung yang masih melekat dengan sabut kelapa di setiap lubang. Kami yang lainnya mendapat tugas untuk menanamnya. Panas matahari kali ini lebih dasyat lagi. Kami harus beristirahat beberapa kali. Seperti biasa makan siang di kebun. Kira-kira jam dua siang kami harus pulang karena di dian desa ada tamu yang baru datang dari Swiss dan Perancis.
Kedua, Water Pyramid Pamana. Setelah mendapat isinan dari Pater prefek, sesudah pertemuan unit pada hari rabu (3/2), kami langsung ke Maumere untuk siap-siap bergeggas ke pulau Pamana. Kami tidak sempat mampir ke Dian Desa karena buru-buru ke pelabuhan. Syukurlah kapal ke Pemana belum berangkat. Seharusnya sudah berangkat karena biasa paling lambat jam satu siang. Tetapi kali ini kapal masih menunggu bos kapal yang masih ada urusan di Maumere. Kami baru bertolak dari pelabuhan kira-kira pukul 14.00.
Perjalanan kira-kira berlangsung selama dua jam. Kami turun di Nolo, sebuah kampung di pantai selatan pulau Pamana. Seorang karyawan dian desa telah menunggu kami di sana. Dari pelabuhan menuju ke rumah pyramid sekitar setengah kilo. Kami menempuhnya dengan berjalan kaki. Kami menginap di sebuah rumah dekat water pyramid bersama ketiga teman dari dian desa yang bekerja di sana. Sore itu kami dijelaskan bagaimana keseluruhan proses penyulingan dari air laut menjadi air tawar. Intinya adalah proses kondensasi atau penguapan. Dengan bantuan matahari akan terjadi penguapan. Hasil uapan akan disalurkan ke suatu wadah. Air hasil uapan ini adalah air murni, air aki, yang bisa diambil untuk dijual. Kemudian air ini akan dialirkan ketempat filter. Disana akan digabungkan dengan mineral dan karbon. Dan kita bisa langsung mengkonsumsinya. Tidak rasa asin atau kapur lagi. Sungguh ini teknologi gila. Saya bersyukur karena dijelaskan dengan sangat detail tentang teknologi ini.
Hari kamis, kami diajak jalan-jalan di sekitar kampung, melihat proyek jamban (toilet). Sangat beruntung masyarakat Pamana. Mereka dibangun dengan cuma-cuma Wc, hampir setiap keluarga. Keadaan masyarakat di pulau Pamana masing cukup sederhana. Penghasilan mereka adalah yang mereka peroleh dari kerja melaut dan menjual rombangan. Mereka tidak pernah mengharapkan hasil kebun karena lokasi yang sangat gersang dan berbatu. Apalagi hujan tidak pernah turun. Seorang bapak pernah mengisahkan kepada saya, bahwa tahun ini akan terjadi kelaparan hebat karena huan tak kunjung datang sementara hasil melaut dan dagang mereka kian berkurang.
Hari Jumat pagi-pagi kami bertiga diperkenankan masuk ke dalam rumah pyramid yang seharusnya dilarang masuk kepada setiap pengunjung. Kami bersyukur karena mendapat izinan langsung dari pimpinan Dian Desa. Kami masuk ke dalam tepat pukul 05.30, dan harus bergegas cepat keluar sebelum matahari muncul. Karena jika terkena sinar matahari panasnya bisa mencapai lebih dari 50 derajat Celsius. Jam 8 pagi kapal bertolak dari Pamana.
Ketiga, bincang-bincang dengan beberapa kakak di dian Desa. Ada satu dua hal yang dibicarakan tentu menguatkan saya dalam memaknai hidup ini. Saya sangat tertarik dengan sharing dari kae Pius Herin tentang kemandirian dan perjuangan hidup. Saya akhirnya setuju bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup tidak mudah.

Menimba makna Pengalaman Hidup
Jika kegiatan ini hanya untuk sekedar berlibur dengan nuansa rekratif maka saya mungkin memilih untuk tetap tinggal dan tidak mengikuti kegiatan ini. Tetapi yang kami lakukan adalah bekerja dan melatih keterampilan kami. Tiga hal yang seperti yang saya jabarkan di atas ternyata memberiku banyak nilai. Dari segi pengalaman saya sungguh diperkaya, tetapi ada juga nilai-nilai lain yang sangat sangat berkaitan langsung dengan hidup dan panggilanku.
Pertama, nilai perjuangan. Penglaman ini mengajarkan saya bahwa yang namanya hidup itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Hidup itu butuh perjuangan. Nilai perjuangan ini saya peroleh dari pengalaman bekerja di bawah teriknya matahari. Entah disengaja atau tidak waktu kami bekerja tidak ada air untuk minum sekedar pelepas dahaga, saya yang sudah sangat haus akhirnya meminta air dari seorang kayawan. Ia kemudian mengambil aqua tab, karena memang yang ada hanya itu saja. Saya merasa sangat susah untuk minum air ini, baunya begitu menyengat. Tetapi apa boleh buat, air tidak ada lagi, terpaksa diminum saja. Hasilnya bukan melepaskan dahaga malah membuat saya pusing. Ketika pulang ke kantor Dian Desa bapak Petrus, pimpinan Yayasan Dian Desa, mengejek saya, “makanya sesekali keluar juga rasakan sulitnya hidup di luar dan jangan terlalu manjakan diri dengan hidup yang enak-enak dalam biara”. Sialan…tetapi benar juga setelah saya pikir-pikir kemudian.
Di sini, saya diajarkan bahwa untuk mecapai sesuatu yang kita cita-citakan butuh perjuangan dan kerja keras. Dalam hal ini termasuk menapaki tapak-tapak panggilanku. Saya kembali teringat kata-kata bapak pembimbing rohaniku, bahwa perjalanan yang paling melelahkan adalah perjalanan menuju batin kita. Dan separuh bagian dari formasi kita adalah pergulatan dengan batin, soal disermen dan refleksi-refleksi. Ini baru bergulat dengan batin. Belum lagi kita dihadapkan dengan tuntutan akademis, pastoral misoner, dll. Dengan pengalaman bekerja seperti ini saya diajarkan untuk tetap melihat panggilanku sebagai sesuatu yang mesti perlu diperjuangkan.
Kedua, mengasah kreativitas. Berkreasi merupakan salah salah satu ciri khas manusia. Hidup tanpa kreativitas sebenarnya tidak layak untuk dihidupi. Pola hidup tanpa kreativitas adalah pola hidup pasif dan reseptif. Bergabung dengan lembaga sosial masyarakat (LSM), yang terlepas dari institusi formal pemerintah, sangat dibutuhkan kreativitas dari anggotanya. Saya melihat bahwa orang yang bekerja di Dian desa sangat tekut dan terampil baik itu di lapangan maupun di kantor. Pengalaman ini mengajarkan saya untuk lebih kreatif sehingga hidup tidak terkesan monoton. Kreativitas bagi kita sebagai kaum religius misioner menggairahkan panggilan kita. Tanpa kreativitas hidup akan monoton. Mungkni saja panggilan akan terasa sangat kering.
Ketiga, kemandirian. Dalam bincang-bincang dengan teman-teman di Dian Desa, saya sempat tersentak ketika mendengar komentar bahwa, kita yang tinggal di dalam biara tidak mengerti banyak tentag kesusahan masyarakat di luar. Ini sebuah kritikan. Hidup itu sangat sulit. Untuk bertahan hidup orang mesti membanting tulang. Kita di dalam biara segala sesuatu telah disiapkan. Jika tiba waktu makan, kita berbondong-bondong ke kamar makan, santap makanan yang telah disediakan dan hasil dari usaha kerja keras orang lain. Sepintas saya merasa kaget karena toh itulah konsekuensi hidup membiara. Tetapi yang berbicara adalah kakak-kakak dari LSM yang tentunya banyak mengetahui keadaan masyarakat kecil sekaligus mereka juga pernah lama tinggal di dalam biara. Saya akhirnya menginsafinya, Yah begitulah. Tetapi pesan menarik yang saya terima adalah mulai dari sekarang saya mesti bisa hidup mandiri meskipun tinggal dalam komunitas. Bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti hemat menggunakan uang pribadi atau selalu mencatat setiap pengeluaran dan pemasukan. Tanggung jawab terhadap setiap tugas yang diberikan kepada kita, dll. Selain itu, ada hal lain yan gbisa say terima dari pengalaman ini. Singkatnya dengan kegiatan semacam ini saya sungguh diperkaya.
Akhir kata, suatu ketika kakak saya pernah menceritakan pengalaman pastoral kepada saya. Dia baru saja menyelesaikan praktik pastoral di salah satu paroki di pulau jawa. Kepada saya diceritakan bahwa ketika pertama kali datang ke paroki tempat ia berpraktik, seorang bapak bertanya kepadanya: “Frater, datang kesini bawa apa ke sini? Kalau hanya menegaskan bahwa Allah itu baik kami sudah tahu”. Kakak saya hanya bisa terdiam, begitu kisahnya. Kiranya pengalaman beberapa hari berada di Yayasan Dian Desa memberikan saya keterampilan dan pengetahuan praktis yang cukup untuk bekal pastoralku di masa depan. Saya selalu yakin bahwa dalam setiap pengalaman selalu ada makna dannilai yang bisa kita petik. Sekali lagi, pengalaman ini sungguh memperkaya diri saya.

কোন মন্তব্য নেই:

একটি মন্তব্য পোস্ট করুন