বুধবার, ৫ মে, ২০১০

PANTE BESAR DAN SEMANA SANTA (29 maret-4 April ‘10)

“Alam raya pun semua tersenyum
Merunduk dan memuja hadirnya
Terpukau aku menatap wajahnya
Aku merasa mengenal dia
Tapi ada entah dimana
hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi tercipta untukku
Pencarianku pun usai sudah”
(Mahadewi-Padi)


Untian kata-kata di atas merupakan sebagian syair lagu dari Padi, sebuah grup Band asal Suarabaya. Piyu, seorang yang menciptakan lagu ini, dalam suatu jumpa pers, mengatakan bahwa tidak ada wanita yang lebih sempurna daripada Maria. Piyu adalah seorang katolik yang suka berdevosi kepada Maria. Mahadewi adalah bunda perawan Maria, karena itu lagu ini diabadikan kepada Maria. Sebagian kesuksesannya tidak terlepas dari seloroh devosi yang panjang dan tak henti-hentinya kepada Bunda Maria.
Kisah Piyu dengan praktik devosionalnya kepada Maria, hanya merupakan salah satu contoh dari kebanyakan orang yang setia berkanjang dalam doa-doa di hadapan Maria. Devosi kepada Maria bukan hanya ada dan muncul beberapa dekade terakhir ini, tetapi telah ada dan berurat akar dalam hati umat sejak berabad-abad silam. Bahkan ikon-ikon tentang Maria lebih popular daripada Yesus sendiri dalam beberapa parau waktu.
Dalam kerangka kisah ritual devosional seperti ini, momen pekan suci di kota Reinha Rosari Larantuka, menjadi saat-saat bagi saya menyaksikan dan turut berpartisipasi dalam rangkaian panjang devosi. Ada rasa bahagia yang muncul ketika bisa mengambil bagian dalam beberapa upacara devosional bersama ribuan umat Katolik. Tetapi muncul juga rasa heran dan tak percaya ketika menyaksikan ribuan umat yang berarakan hampir semalam suntuk hanya untuk mencium karpet yang mengalasi patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Tuhan Yesus). Refleksi ini saya rangkai dari aneka perasaan seperti ini yang terus bergejolak dalam diri saya serta berbagai aneka pengalaman lainnya selama live in di Pante besar. Karena itu, refleksi ini saya rangkai dalam tiga bagian, yakni situasi kebersamaan di rumah, Kegitan di Geraja, dan pengalaman mengikuti prosesi.

I. “Rumah Kami adalah Rumahmu Juga”
Apa yang dinamakan sebagai kegiatan live in, tidak lebih meupakan sebuah kegiatan liburan dimana kami bisa merasakan situasi umat dan turut serta mengambil bagian dalam keseharian situasi mereka. Live in berarti tinggal atau hidup bersama. Meskipun demikian selama beberapa hari berada di Pante besar hanya sedikit hal saja yan gsaya bisa rasakan dari penglama kebersamaan di rumah. Aneka kegiatan yang sesak dan padat memaksa saya untuk lebih banyak berada di luar rumah ketimbang mengambil bagian dalam kebersamaan di rumah. Tetapi dari waktu yang sedikit itu, saya memperoleh beberapa nilai yang saya kira amat perlu untuk ditimba ke depannya.
Pengalaman bersama keluarga tempat saya menginap dimulai ketika saya dijemput di Gereja oleh seorang Nenek yang telah lanjut usia. Setelah berjabatan tangan, berdua kami melewati lorong-lorong untuk sampai ke rumah. Saya sempat melontarkan beberapa pertanyaan basa-basi awal seperti, jauhkah rumah, ada beberapa orang di rumah, atau kok, mesti nenek sendiri yan gpergi jemput. Tetapi pertanyaan-pertanyaan saya hanya dijawab dengan seulas senyuman lansianya. Kesan awal ini membuat saya ‘kikuk’. Ternyata jarak dari Gereja ke rumah hanya sekitar 200 meter. Ketika memasuki rumah, si Nenek akhirnya mengucapkan sesuatu; “Frater, ini rumah kami, mulai sekarang rumah kami, frater punya rumah juga”. Seketika itu juga rasa ‘kikuk’ pun hilang.
Dari dalam rumah keluar dua orang anak laki-laki kecil, sambil tersenyum malu-malu mereka mengulurkan tangan dan sepintasa langsung mencium tangan saya. Ini Kebiasaan yang tidak saya jumpai dalam keluargaku. Tanpa sayas duga, pertanyaan yang mereka lontarakn kepada saya adalah apakah saya bisa main PS (play station). Selanjutnya, bisa ditebak saya makin akrab dengan mereka karena play station ini. Dari ruang tengah sepasang pasutri muncul dan lamgsung bersalaman dengan saya. Mereka langsung menunjukkan sebuah kamar yang telah dipersiapkan secara khusus. Setelah menaruh tas, saya pun mulai memperkenalkan identitas saya mulai dari nama, asal dan sebagainya.
Meskipun tinggal hanya tiga hari minus kegiatan-kegiatan di luar rumah, ada banyak hal yang bisa saya petik dari kebersamaan di rumah. Pertama, hal unik yang saya jumpai dalam rumah ini kehidupan spiritual yang berbeda-beda. Nenek dengan berbagai macam praktik dovosionalnya yang khusuk. Rosario kalau bukan di leher berarti ada di tangan. Suatu senja ia menceritakan keapada saya pengalaman imannya karena dekat dengan Bunda Maria. Pada waktu itu saya juga melontarkan pertanyaan, mengapa orang flores timur suka sekali devosi. Jawaban yang saya dapatkan adalah, “kami orang Larantuka, sebelum agama masuk, Bunda Maria sudah datang terlebih dahulu”.
Berbeda sekali dengan Bapak di rumah (anak dari nenek tadi). Beliau salah satu orang yang tidak tertarik dengan berbagai praktik devosional. Dengan terus terang ia berkata, “Frater sudah beberapa tahun tinggal di Larantuka ini, saya satu kali pun belum pernah mengikuti devosi. Tetapi Beliau seorang yang rajin mengikuti kegiatan di Gereja. Pada haru jumat agung beliau lebih suka jalan Salib di Gereja ketimbang mengikuti prosesi. Sedangkan spiritualitas yang ditunjukkan mama di rumah lebih merupakan penggabungan antara keduanya. Begitu pula dengan anak-anak, satunya sangat rajin ke Gereja sedangkan yan glainnya sangat malas dan lebih suka menonton TV serta main Play Station.
Di sini dipacu untuk mengkritisi mana yang bisa dipertanggungjawabkan. Praktik devosional dan mengesampingkan upacara liturgi resmi di gereja, atau ke gereja ketimbang mengikuti berbagai ritual devosional. Petanyaan ini tentunya menjadi PR buat saya karena tentu angsung berkaitan dengan problem teologis da liturgis.
Kedua, dalam hal makan minum. Semua makan minum tersedia selalu 24 jam. Kebiasaan untuk makan bersama jarang sekali. Kedua orang yang bekerja sibuk bekerja dan harus pulang makan dalam waktu yang berbeda. Waktu makan mereka bisa terjadi setiap saat. Siapa yang lapar datang makan. Ini tentunya berbeda dengan situasi di unit, yang selalu makan bersama secara komunal. Saya tidak mungkni mengajak mereka untuk berubah karena situasi di rumah memang harus demikian, tetapi saya juga bisa menimba hal baru. Pola hidup seperti ini mengingatkanku pada pola hidup komunitas-komunitas karya yang anggotanya selalu sibuk setiap saat. Sampai akhirnya, saya berpikir pola seperti ini toh ada gunanya juga jika saya tinggal di komunitas karya kelak.
Ketiga, cara mendidik anak dengan penuh persahabatan. Baru di rumah ini, saya melihat ada anak kecil yang memarahi orang tuanya dan yang dimarah terus memintamaaf kepada anaknya. Ini kebiasan yang baru yang baru saya temukan. Tentu, ini menjadi pelajaran berarti bagi saya dalam menghadapi anak-anak. Keempat, cinta akan kebersihan dan keindahan. Rumah dan pekarangan di sekitarnya diatur sangat rapih dan indah. Berbagai jenis bunga ditanam dan disusun bertingkat-tingkat. Kecintaan dan ketelatenan merawat dan menjaga kebersihan meninggalkan pesan khusus dalam benak saya, “kalau pulang ke unit, ingat jaga kebersihan kamar dan lingkungan sekitarnya”.

II. Kegiatan Di Gereja
Umat di stai Pante Besar mempunyai kebiasaan menyebut, kapela stasi dengan gereja. Mungkni hampir semua umat di Larantuka. Kata kapela hanya digunakan untuk penyimpanan patung seperti kapela Tuan Ma, tuan Ana, kapela patung Misericordiae, dll. Sedangkan yang biasa digunakan untuk misa hari minggu dan hari-hari lainnya disebut Gereja. Demikian definisi baru yang saya temukan ketika bertanya kepada nenek di rumah, tempat saya menginap.
Hanya dua kegitan di gereja yang saya ikut, yakni misa pada malam kami putih, dan misa cium salib pada hari Jumat Agung. Mestinya ada ibadat jalan salib pada pagi harinya, tetapi saya lebih memilih untuk ke pelabuhanmenyaksikan prosesi perarakan Tuan Menino di laut. Hal yang sedikit membuat kami bangga adalah kehadiran kami di gereja yang selalu ditunggu-tunggu umat. Mungkin umat di sini belum teriasa dengan kehadiran para Frater dalam jumlah banyak. Karenaitu, pada malam kamis Putis uma tbegitu banyak yan ghadir. Menurut salah satu umat, kehadiran umat yang sangat banyak itu karena memang mereka ingin mendengar para frater bernyanyi dengan memakai jubah. Setidaknya saya bisa sadar bahwa ternyata, di tengah perkembangna jaman, umat masih merindukan kehadiran kaum religus di tengah-tengah mereka meskipun hanya dalam hal sederhana seperti ini.
Hal lain yang bisa saya timba adalah bagaiman harus tampil di hadapan umat. Pada malam Kamis puti para Frater membawakan kor. Ini tentu bukan hal yang mudah apalagi pada perayaan kamis putih yang sebagaian lagu dinyanyikan tanpa musik. Tetapi syukurlah kami bisa bernyanyi dengan baik. Terdengar pujian-pujian yang dilontarkan kepada kami membuat para frater tersipu-sipu. Berada di tengah umat harus tampil dengan semaksimal mungkin supaya citra seorang frater tidak ikut buruk hanya karena bernyanyi buruk. Sebisa mungkni dalam setiap kesempatan hadir bersama umat, terlebih dahulu harus mempersiapkan diri secara matang.
Mengikuti misa hari Jumat Agung membuat saya mengerutkan dahi lantaran bertanya dimana semua umat yang pada malam tadi berlimpah ruah mengikuti perayaan ekaristi. Ternyata umat yang lain lebih suka tunggu di kapela Misericordia untuk perarakan patung ke Armida. Banyak pula yang pulan gduluan sebelum perayaan selesai, padahal Jumat Agung adalah perayaan puncak liturgi Kristiani.
Secara umum situasi yang Nampak dalam dua perayaan di atas adalah persaudaraan dan cinta. Malam Kamis Putih adalah malam persaudaraan. Di dalamnya ada persatuan dan cinta kasih. Begitu pula dengan perayaan pada Jumat Agung, Cinta kasih Tuhan yang tak terhingga, sampai-sampai menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib menyentil animo kesadaranku untuk melangkah maju meninggalkan cara hidup lama.

III. “Ovos Omnes Qui Tramsitis Per Viam”
Ada beberapa upacara (doa dan prosesi) yang harus kami ikuti di upacara liturgi Gereja. Ada dua perasaan yang muncul ketika hendak mengikuti serangkaian kegiatan prosesi ini. Pertama, rasa ingin tahu yang ada dalam diri saya karena ini merupakan pengalman pertama mengikuti prosesi di Larantuka. Kedua, ini adalah sebuah siarah roani bagi saya di sela-sela Liburan pasakah. Karena itu dua hal ini terus bercokol dalam benak saya dalam mengikuti serangkaian kegiatan ini, antara rasa ingin tahu dan ziarah rohani pribadi.
a. Rabu Trewa
Pada hari rabu malam, semua umat di sekitar Pante Besar berkumpul di kapela Missericordia. Mala mini adalah rabu trewa yang artinya Rabu berkabung. Umat akan menyanyikan lagu-lau yang biasa dibawakan pada saat lamentasi. Lagu-lagi diamil dari kiab ratapan 1: 6-9, 10-12 tentang kesunyian dan reruntuhan Yerusalem dan Bab 2:13-14 tentang Murka Allah terhadap Sion. Setelah acara selesai terdengar bunyia-bunyian dan suasana rebut gaduh. Orang akan berteriak “trewa” berulang-ulang selama sepuluh menit. Ini sengaja diciptakan mengingat suasana kegaduhan pada waktu prajurit dan serdadu menangkap Yesus. Dan suasana akan kembali sunyi setelah kegaduhan. Sebelum pulang kerumah saya berkesempatan mencium patung missericordia.
b. Cium Patung Tuan Ana dan Tuan Ma
Setelah misa kamis malam, semua umat diberi kesempatan untuk mencium patung Tuan Ma dan Tuan Ana. Banyak umat yang datagn rposesi membuat saya lebih memilih untuk mencium patung esok paginya. Karena itu sekitas pukul 04.30, kami keluar dari rumah menuju kapela Tuan Ma. Lumayan atrian sudah tidak terlalu panjang lagi, kira-kira 200 meter. Tetapi untuk sampai ke kapela Tuan Ma saya harus menunggu tiga jam lamanya. Sampai di depan kapela semua orang berlutut dan perlahan-lahan maju ke dalam. Kami, hanya bisa mencium karpet yang mengalasi patung Tuan Ma. Saya tidak sempat mencium peti Tuan Ana, perut sudah mulai lapar dan kecapaian.
c. Prosesi Patung Tuan Menino
Prosesi ini dimulai pada hari Jumat pukul 11.00. Saya memang berkeinginan besar untuk mengikuti prosesi ini, tetapi ketika melihat padatnya, kondisi kapal serta gelombang, akhirnya saya ambil keputusan untuk menunggu saja di Pelabuhan lalu ke armida Tuan Menino, tempat patung itu ditahktakan.
d. Prosesi Patung Missericordia
Setelah pulang dari gereja kami semua langsung menuju ke kapela Missericordia. Ada perarakan patung missericordia ke Armida. Prosesi dimulai tepal pukul 16.00 sore dan berakhir kira-kira satu jam setelahnya.
e. Prosesi Tuan Ma dan Tuan Ana
Ini terjadi pada Jumat malam. Dua patung ini diarahkan. Saat in saya baru menyaksikan banyak umat yan gdatang mengikuti prosesi ini. Saya sendiri hanya mampu mengikutinya sampai ke armada ketiga. Saya terpaksa pulagn karena membawa seorang adik kecil yang sudah mengantuk. Prosesi ini harus melewati beberapa delapan armada sebelum masuk kembali ke gereja Katedral. Di setiap Armida, seorang perempuan yang dipilih secara khusus akan menyanyikan lagu “ Ovos Omnes Qui Transitis Per Viam, etendite et videte si est dolor, sicut dolor meus (wahai kamu sekalian yang melintasi jalan ini, pandanglah dan lihatlah, adakah kau lihat kesedihan, seperti kesedihan yang Kualami)”.

Ada beberapa hal positif yang bisa saya petik dari rangkaian kegiatan prosesi di atas. Pertama, devosi menumbuhkan iman. Iman umat Larantuka hanya tetap hidup selama ratusan tahun ketika ditinggal pergi oleh para misionaris dominikan samapi kedatangan para misionaris Yesuit. Kegiatan prosesi seperti ini membuat mereka bertahan dalam iman. Untuk konteks kita sekarang, praktik devosional bisa mengisi kekeringan iman kita. Kedua, Praktik dovosional seperti ini menunjukkan segi keunikan sekaligus kekayaan iman iman kita. Hal ini serentak menyadarkan saya untuk beriman secara kreatif dan tidak monoton lebih khusus dalam menapaki panggilan hidup saya. Ketiga, Peleburan antara tradisi dan gereja. Di sini ada sisi inkulturatifnya. Prosesi di larantuka merupakan contoh konkrot perpaduan ajaran iman gerja dan tradisi (adat-istiadat) umat Larantuka.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari kegiatan prosesi ini. Pertama, banyak orang yang datang hanya bisa menjadi penonton. Hal ini mungkin disebabkan karena rasa ingin tahu seperti melihat patung, dll. Mungkin juga pemahamn yan gkurang terhadap setiap arti ritual yang dijalankan. Sebagian lagi ada juga yan ghanya “ikut ramai” tanpa mengikutinya dnegna sungguh-sungguh. Kedua, Ada bahaya pentuhanan Maria. Maria bahkan disembah dan dipuja layaknya Yesus Kristus. Lebih Ironis ketika menyaksikan rute penciuman patung. Semua orang pasti akan ke Tuan Ma (Maria) terlebih dahulu baru kemudian ke Tuan Ana (Yesus). Jarang dilakukan sebaliknya. Ini memang hal sepele tetapi merupakan bukti nyata bahwa umat lebih menomorsatukan Maria ketimbang Tuhan Yesus. Ketiga, Umat lebih mengutamakan kegiatan prosesi dan semcamnya ketimbang mengikuti upacara liturgi di gereja. Beberapa hal ini memacu saya untuk lebih kritis terhadap setiap praktik keagamaan.

Nitapleat, Media April 2010

কোন মন্তব্য নেই:

একটি মন্তব্য পোস্ট করুন